Oleh:Nasbahry Couto

Dasar pengetahuan penulis adalah bidang visual arts (seni rupa, desain, dan arsitektur) yang diluaskan ke bidang budaya visual (visual culture). Artikel yang penulis tulis, tentu tidak ingin ke luar dari referensi ini. Jika ada pembaca ingin membawa ke luar konteks ini, mungkin karena pembaca memiliki referensi lain. Jika pembaca ingin mendalami pemikiran penulis lebih dalam, ada dua buku yang bisa dibaca, yang penulis tulis tahun 2008. Yaitu Dimensi Teknologi dalam Seni Rupa (DTS) yang memfokuskan kajian ke tradisi teknik Seni Rupa sepanjang zaman dan sedikit menyinggung teknik seni dg. Komputer. dan satunya lagi Budaya Visual Seni Tradisi Minangkabau (BVTM)* yang memfokuskan kajian ke arsitektur tradisi. Tulisan di bawah ini, adalah beberapa cuplikan kedua buku itu, yang penulis coba rangkai dengan artikel terdahulu “Sebuah Perenungan Terhadap Kecendrungan Seni dan Budaya”. Dan, mudah-mudahan dapat memperjelas maksud artikel itu.

*) bab 3 dari buku ini pernah di seminarkan di TMII, Jakarta. Dibukukan dalam bentuk bunga rampai tahun 2003, (editor) Prof. Dr. Edy Sedyawati, yaitu Warisan Budaya Tak Benda Masalahnya Kini di Indonesia. Depok: PPK & B. Lembaga Penelitian Universitas Indonesia atas bantuan UNESCO.

Tentang budaya visual penulis tulis dalam buku BVTM, 2008 , sbb;

Pada awal akhir abad ke 20 cara melihat kebudayaan mulai disederhanakan, misalnya dengan membagi kebudayaan masa kini yang sedang berjalan dan kebudayaan masa lalu. (Sedyawati, Edi, 2003). Kebudayaan masa lalu dibagi lagi atas warisan budaya yang dapat dilihat (tangible cultural heritage) dan warisan budaya yang tidak terlihat (intangible cultural heritage). ( BVTM, hal 15-16)

Tentang gaze: ( penulis tulis dalam buku BVTM)

sbb.…………cara melihat manusia. Yaitu bagaimana cara seseorang memandang orang lain. Produk film, animasi atau video umumnya dibuat untuk melihat bagaimana tampilan visual orang-orang, dan tokoh (manusia), manusia jadi raja, kucing jadi manusia, robot jadi manusia dsb. Pokoknya manusia. Demikian juga saat melihat seorang tokoh pimpinan, melihat potret, menilai gambar atau lukisan pada dasarnya yang kita pandang adalah visualisasi manusianya berdasarkan persepsi gender. Jika kita menafsirkan orang kurang tepat jika dipakai istilah denotatif atau konotatif. Umumnya interpretasi terhadap benda dan orang tidak pernah sama. Dalam melihat benda-benda, umumnya kita menipiskan perbedaan yang ada. Sehingga kita mencari peluang untuk kesatuan pendapat tentang yang terlihat, misalnya dalam kegiatan ekonomi. (BVTM.2008. hal.4)

Tentang perbedaan persepsi terhadap bahasa visual dan bahasa verbal : ( dalam buku DTS) sbb:

Kata-kata atau bahasa, dapat menerima maksud arti simbolis dan juga bisa terlepas dari arti awalnya dan atau bergeser artinya. Kata hitam (black), misalnya, pada awalnya (di Amerika) di maksudkan sebagai lambang keturunan orang Afro-Amerika. Dalam pengertian selanjutnya ternyata makna black telah bergeser dan tidak lagi dipakai untuk menunjuk orang keturunan Afrika. Di Indonesia tahun 70-an kalau berjoget (bergoyang) disebut “asoy”, generasi sekarang tidak mengenal lagi arti kata itu, kecuali di pasar disebut orang “kantong asoy” sebagai kantong plastik (mungkin karena goyangannya). Jadi sebuah kata adalah sebuah konvensi tentang makna simbolik. Konvensi itu dapat bergeser maknanya menurut waktu. Dengan pemahaman ini, kita mudah mengerti, kenapa pengertian seni berubah dari waktu ke waktu ( DTS. hal. 57)

Lambang kata yang mempergunakan bahasa Inggris hanya dipahami oleh orang yang pandai berbahasa Inggris berikut pergeseran konvensi artinya. Sedangkan lambang yang murni visual (bukan kata-kata) dapat ditangkap oleh siapapun tampa harus belajar lebih dahulu tentang konvensi simbolik visual yang dipakai. Lambang non verbal lainnya — yang dapat dipahami secara langsung oleh seseorang– tanpa harus belajar terlebih dahulu, yaitu lambang-lambang yang dihasilkan oleh bunyi, gerak dan isyarat termasuk lambang seni suara (auditif art). Masing-masing kebudayaan dan di zaman yang berbeda, dapat berbahasa visual menurut caranya masing-masing. Dan memikirkan maknanya menurut caranya masing-masing pula. Mungkin hal ini pula yang menjadi penghalang untuk merumuskan sebuah kategori dan atau konsep seni (Barnes 2002). (DTS, Bab III, tentang dimensi sosial budaya dalam seni)

Tentang Interpretasi visual dalam kebudayaan ( dalam buku BVTM)

Umumnya prasangka sosial tentang tafsiran visual, timbul karena kebekuan dan konvensi tentang makna visual itu (Robert H. McKim, 1980). Bagi orang Hindu, sapi adalah suci, bagi orang barat makanan. Bagi Yahudi dan Islam babi itu haram. Berjilbab itu tanda orang Islam (Indonesia), di Malaysia juga, tetapi di daerah tertentu sekarang dilarang (karena menyembunyikan kalung salib di dadanya). Sedangkan bagi orang Jawa rumah adalah istana (gender laki-laki), bagi orang Minang rumah adalah suku (gender perempuan). Cara orang Jawa dan orang Minang melihat rumah kediamannya dalam satu sisi bisa berlainan. ( BVTM, 2008. Bab I)

Walaupun bahasa visual itu dapat ditangkap secara langsung oleh pengamatnya, namun bagi kebanyakan orang akan terjadi interpretasi luas secara pribadi. Dalam banyak hal, bahasa visual dapat disalah-artikan sesuai dengan latar belakang budaya dan pemikiran yang dikembangkannya. Misalnya, kita sering bereaksi terhadap pesan visual tanpa disadari, dan lebih meyakini pendapat kita yang dibentuk oleh selera (taste) pribadi, dan oleh lingkungan sosial budaya. Kita bisa gagal, untuk mengenali isyarat (cues) bahasa visual itu, karena makna atau artinya dipengaruhi oleh kebijakan dan nilai sosial budaya, atau bahkan oleh pilihan kita sendiri.*

*) Penulis telah menulis beberapa buku yang diterbitkan oleh UNP Press Padang, diantaranya yang terbaru (2008) adalah buku Dimensi Teknologi dalam Seni (DTS) dan buku Budaya Visual seni tradisi Minangkabau (BVTM). Tiap buku berisi hampir 300 halaman. Bagi yang memerlukan uraian lebih lanjut tentang tulisan ini dapat dibaca dalam buku ini. Untuk mendapatkannya, Anda dapat menghubungi via email nasbahry.couto&yahoo.co.id.

Jadi bahasa verbal dengan bahasa visual itu memiliki kemiripan dalam hal interpretasi lanjut. Tetapi dalam tangkapan pertama, makna kedua bahasa itu bertolak belakang. Perbedaannya adalah sebagai berikut : sebuah kata, kalimat atau paragraf (kumpulan kalimat) tidak sertamerta ditangkap maknanya tanpa mengenal dan atau sepakat tentang maknanya. Oleh karena itu jika kurang memahami, dapat dilanjutkan dengan melihat kamus, encyclopaedia, teori, artikel dan penjelasan tambahan lainnya. Sebaliknya, sebuah bahasa visual dapat ditangkap langsung tanpa perlu kesepakatan tentang maknanya. Makna luas bagi keduanya adalah soal lain, sebab berkaitan dengan interpretasi pribadi, kesepakatan sosial budaya dan atau pembelajaran tentangnya. Hal ini memungkinkan terjadinya diskrepansi makna. Dalam bahasa visual peristiwa interpretasi ini disebut “afterimage” dan dalam dunia bahasa verbal disebut “konotasi” atau interpretasi luas.

Mengenai afterimage ini ditulis dalam buku DTS, antara lain:

Cerita yang tercipta secara in absentia adalah cerita yang secara imajinatif muncul di pikiran apresiator setelah melihat gambar (afterimage). Sebuah karya seni rupa seperti lukisan disebut memiliki unsur narasi jika lukisan itu mengandung elemen cerita, misalnya adanya peristiwa, tokoh, seting, waktu, sudut pandang, dan vokalisasinya secara visual. (Dimensi Teknologi dalam Seni , 2008. hal 44-45)

Tulisan penulis tentang meme dan KISS dalam tajuk “Sebuah Perenungan Terhadap Kecendrungan Seni dan Budaya” bisa saja salah interpretasi. Ini adalah akibat interpretasi luas. Sebab referensi penulis dengan referensi pembaca bisa berlainan dalam menangkap momentum simbolik (konvensi) kata-kata yang penulis tulis. (seperti yang penulis terangkan di atas).

Bahwa ilmu pengetahuan (science) merupakan sebuah evolusi berpikir manusia yang sistematis dan teratur sesuai dengan bidangnya masing-masing. Tetapi karena ilmu pengetahuan itu cendrung terfragmentasi, maka cara memandang sesuatu masalah bisa berlainan. Artinya bukan hanya karena konvensi simbolik kata saja yang dapat membedakan pendapat, tetapi juga cara memandang sesuai dengan bidang ilmu masing-masing.

Mengenai perbedaan cara memandang ini penulis tulis dalam buku (DTS), sebagai berikut:

Antara seniman (artist) dan ilmuan (scientist) mencoba memandang dunia untuk memperoleh sesuatu secara acak dan melalui berbagai pengalamannya. Keduanya mencoba untuk memahami dan menghargai dunia dan menyampaikan pengalaman mereka kepada orang lain. Namun cara mereka menyatakan diri sangat berbeda: ilmuan belajar dan melihat secara kuantitatif dan menemukan konsep-konsep serta hukum-hukum kebenaran universal. Seniman memilih persepsi-persepsi kualitatif (qualitative perceptions) dan mengaturnya menjadi ungkapan pribadi serta pemahaman kultural. Sebuah karya seni, pada dasarnya berubah-ubah dalam kacamata artistik, karena di pengaruhi oleh seniman maupun oleh selera publik. Validitas sebuah pernyataan artistik hanya ada pada pada suatu waktu dan tempat. (DTS, 2008. hal. 20)

Kemudian penulis mengkritik kecendrungan ini (DTS) , sbb:

Kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa manusia pada dasarnya tidak dilahirkan berdasarkan kualitas persepsi seniman, karena persepsi manusia bisa berbeda dengan cara pandang seniman yang berubah menurut waktu. Oleh karena itu logis jika seni dapat dikaji berdasarkan persepsi umum yang meliputi pandangan semua orang. (DTS. 2008.hal.20)

Mengenai kecendrungan seni kontemporer penulis menulis dalam DTS sbb:

Sejak seni itu mulai dipikirkan orang, ada suatu gejala bahwa teori seni yang dibangun hanya berdasar pelaku seni, padahal tidak harus selalu begitu. Jika kita berpijak ke pelaku seni, maka proses pikiran dan kreasi menjelaskan baik aspek intuitif maupun logik seniman. Pengetahuan intuitif ini, berhubungan erat dengan apa yang disebut oleh Bourdieu (1990) sebagai logika praktik (logic of practice), atau sebuah permainan (being in-the-game) dimana strateginya tidak dapat diprediksi, tetapi muncul dan beroperasi pada waktu dan menurut kebutuhan gerak dan tindakan yang spesifik oleh pelaku seni. ………Kemudian…… Secara tidak sadar, mendalami seni berarti belajar menjadi psikolog tetapi tidak pernah menjadi psikolog yang asli.………………….( DTS. Hal.2)

Dapat dipahami bahwa, pandangan psikologi seni abad ke-20, selalu melihat seni sebagai hasil proyeksi kejiwaan dan mengabaikan seni sebagai sebuah proses yang melibatkan pengamat atau pemakai seni. Padahal kedua sisi itu tidak memiliki perbedaan yang prinsip, bukankah pelaku seni juga menikmati dan sekaligus pengamat seni ? Dua pandangan ini, antara yang mementingkan aspek psikologi internal (dimensi kejiwaan) dan yang menekankan aspek psikologi persepsi (pengaruh objek fisik) terhadap manusia (receiver) dianggap sebagai titik awal berbagai persoalan seni yang sebenarnya, yang menggiring kita ke teori seni, yaitu teori proses. ( DTS. Hal.2)

Mengenai salah satu cara untuk memahami proses berkarya dalam bidang seni dan desain penulis menulis dalam DTS. 2008. hal. 28

Aplikasi konsep seni dan desain hanya dapat dipahami, jika kita mengerti tentang sistem instruksional dalam komunikasi, misalnya perbedaan sistem instruksi (pesan) komunikasi antar manusia yang difungsikan hanya untuk diingat (remember) dan untuk dilaksanakan (use) antara lain: Fakta (fact), Konsep (concept), Aturan (rule) dan prosedur (Procedure). Dalam dunia pembelajaran, fakta hanya untuk diingat, tidak untuk ditindaki, sedangkan kata (pesan) konsep disamping untuk diingat, bisa juga untuk ditindaki dan atau untuk tindakan (action). Fenomena seni dan desain akan sangat berbeda jika dilihat dalam konteks fact, concept, rule dan procedure. Sistem instruksional itu, adalah hasil riset bahasa yang dilakukan untuk mengatasi kekacauan sistem perintah dalam tubuh militer Amerika. Kemudian dipakai pula dalam dunia pendidikan untuk meluruskan sistem instruksi dalam mengajar. Yaitu yang kita kenal sekarang dengan “Tujuan Instruksional Umum dan Khusus (TIU, TIK). Sistem ini dikaitkan dengan teori Bloom (1957) tentang tiga aspek pengembangan diri manusia dalam belajar, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam seni, dapat dipakai untuk meluruskan dan atau menjelaskan pengertian konsep-konsep dan teori, serta perbedaannya/aplikasinya dalam praktik seni rupa dan desain. (DTS, hal 28)

Salah satu uraian penulis dalam buku itu adalah tentang konsep realisme: apakah realisme itu fakta, konsep, dalil atau prosedur ? ( penulis tulis dalam buku DTS) sbb:

Realisme……..Dia bukanlah sebuah dalil atau teori untuk sebuah tindakan (rule) dan bukan pula sebuah instruksi prosedural sebuah tindakan (procedure) Konsep realisme adalah sebuah kategori atau klassifikasi (konsep). Dia ibarat sebuah peta jalan untuk menuju sebuah tujuan. Dia telah mengikat tentang cara berkarya, dan sedikit banyaknya telah membayangkan pula bagaimana karya itu harus dibuat. Dia adalah sebuah kategori, untuk mencapai kategori itu diperlukan sebuah cara atau teknik, yaitu cara untuk meniru sepersis mungkin, tanpa memberi interpretasi atau ilusi dalam pencitraannya. Disinilah kita melihat hubungan konsep realisme dengan teknik, cara dan selanjutnya teknologi …………. (DTS hal.28)

Kutipan sebelumnya dalam buku DTS, adalah:

Dari hirarki di atas kita sebenarnya telah menggeser posisi pelaku seni sebagai individu yang mutlak sebagai penentu dan pengamat karya seni. Sekarang, seniman dilihat sebagai bagian dari lingkungan, sosial-budaya, dan atau dunia interpretasi. Hal ini dapat diterima, bukan karena pergeseran teori pelaku seni ke teori proses, tetapi karena perolehan konsep sebenarnya adalah hasil lingkungan. Hasil pembelajaran, analisis, dan atau pengamatan (individual-sosial). Sebaliknya konsep-konsep dan interpretasi dari pengamatan itu justru dipakai untuk menciptakan karya seni– bukan lagi dalam bentuk wacana kategori– tetapi dalam bentuk aksi, tindakan, maka oleh seniman konsep itu (dia) menjadi kategorisasi (konsep lain) sebagai konsep teknik dalam berkarya. Selanjutnya……konsep realisme, idealisme, ekspresionisme, abstrak jika dipakai dalam dalam tindakan berkarya yang muncul adalah cara-cara, metoda atau teknik untuk mencapai tujuan kategorisasi itu (DTS. Hal 27)

Konotasi atau polemik yang timbul dari tulisan penulis adalah, jika ada alur pemikiran yang dikembangkan untuk menciptakan blok-blok pemikiran seperti pemikiran filosofis komunitas yang ketat, dengan tradisi dan konvensi cara berpikir mereka sendiri. Itu hak mereka dalam kebebasan berpikir sesuai dengan bidangnya masing-masing. Namun penulis tidak berpikir untuk mengundang polemik pembaca, karena tidak memiliki kemampuan untuk itu. (sebab pendidikan penulis belum sampai S3, dan lagi pula penulis bukan pakar di bidang ilmu lain, cuma saja penulis rajin membaca. Teman seangkatan penulis dahulu di seni rupa ITB ( thn.70-an) seperti Jimmy Supangkat, Wagiono, Setiawan Sabana, dll. Sudah di kenal orang. Apa salahnya kalau penulis juga ikut bersuara, karena dahulu kami dididik oleh guru yang sama)

Penulis anggap jika ada kecendrungan ke sana, hal itu adalah sebuah social prejudice saja dalam berpikir. Seakan-akan ada klaim bahwa pemikiran ini salah dan itulah yang benar. Seakan-akan kita perlu pula memutus rantai sejarah, bahwa evolusi berpikir logis manusia itu bukan dimulai dari Yunani, evolusi sosial manusia itu bukan dimulai dari Babilonia, Mesi. Dan kebekuan persepsi manusia (oleh religiolitas tertentu) bukan dibuka sejak zaman pencerahan (renaisans), dan kecendrungan berfikir manusia abad ke 20 bukan proteksionistis dst.

Tulisan penulis tentang “Sebuah Perenungan Terhadap Kecendrungan Seni dan Budaya, sebenarnya memperluas premis-premis Richard Dawkins, yang menulis buku The Selfish Gene, 1976). Tajuk itu, penulis kaitkan dengan sistem pembelajaran manusia melalui peniruan atau evolusi peniruan yang disebut memepleks. Penulis mencoba memisahkan konsep kreasi dengan imitasi, inovasi dengan duplikasi, memisahkan antara kreator dengan replikator. Penulis mencoba menjelaskan penularan seni, ilmu dan teknologi yang disebut meme dan dampak negatif-positifnya. Dipihak lain penulis mencoba menarik filosofi desain, mencoba merenungkan filosofi itu dengan dunia tindakan (aksi) dalam kebudayaan kita untuk memunculkan persepsi baru yang disebut KISS, yang pada dasarnya bernuansa kritik. Penulis cuma tahu, bahwa dalam dunia tulis dan sastra, ada dua fokus kritik. Satu mengarah kepada substansi isi tulisan atau sastra (kritik struktural), lainnya adalah ke arah kritik sosial (social criticism). Dua arah ini kemudian diwarnai oleh berbagai aliran filsafat. (Atmazaki, 2007).

Dari uraian di atas, jelas bahwa arah kritik itu di tujukan kepada kritik sosial. Landasan filosofis yang dipakai adalah bidang desain yang belum banyak dikenal orang, dengan dasar bahwa penulis sudah puluhan tahun mengajar di Arsitektur dan pernah pula terlibat menyusun buku ajar teori arsitektur)
KISS (Keep it Simple, Stupid) adalah salah satu filosofi desain. Yang lain, adalah seperti “user oriented “ (User-centered design) dan “use oriented” (Use-centered design) dsb. Secara sederhananya, demi pelayanan kepada pemakai desain (limitations of the end user), yang lain demi kesempurnaan desain itu sendiri (focuses on the goals and tasks associated with the use of the artifact). KISS adalah demi kepraktisan, kesederhanaan untuk keluar dari masalah yang kompleks dan rumit. Demi untuk kepentingan perancang sendiri agar tujuan yang dianggap benar tercapai. Lagi pula,…. sebagai sebuah tindakan, bukan hal yang baru, sebab sudah lama dilakukan di Indonesia ( Cuma penulis, banyak orang yang tidak sadar, dan sekarang dibuka dengan persepsi baru sebagai sebuah pencerahan.)

Dalam dunia desain, faktor eksternal (eksplisit) desain adalah pemakai, ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya. Faktor internal (implisit) desain adalah fenomena yang implisit terkandung dalam desain itu sendiri (kesempurnaan bentuk, fungsi, tinjauan ekonominya, keindahan, kenyamanan, dsb). Desain adalah fenomena yang rumit dan kompleks jika dikaitkan dengan faktor eksternal, misalnya fenomena pemakai, ekonomi, manajemen, gaya hidup, budaya, budaya-teknologi lokal dst.

Kejadian yang sama juga dialami bidang seni, faktor eksplisit seni adalah pembuktian berbagai hal sehubungan eksistensi karya seni, misalnya hubungan seni dengan pemakai (user), ekonomi, budaya komunitas, sosial, pendidikan, …… yang mengespresikan juga gaya seni, gaya hidup, gaya intelektualitas dsb. Unsur implisit adalah fenomena yang terjadi antara seniman dan karyanya.

KISS dalam seni bisa terjadi jika pelaku seni memutus rantai faktor eksternal itu. Contoh, pembuat sinetron atau yang hanya peduli dan atau dikendalikan pemilik penyiar TV agar dapat uang, dan kurang peduli lagi kepada pemirsanya suka atau tidak suka. Katanya, pemirsa akan mencari siaran TV yang disukainya karena ada pilihan penyiar lain ( sebagai demokrasi seni). Atau seniman yang hanya peduli kepada galeri untuk membuat karya tertentu, peduli kepada kurator, tanpa pengembangan dirinya sebagai seniman sebagai bagian dari lingkungannya. Atau pameran rame-rame tampa sosok kategori yang kuat. Penulis pernah mendengar anekdot seperti ini: “ si A itu tadinya tukang sapu di Taman Budaya. Karena dia sering menonton pembacaan sajak, lalu dia mencoba untuk membuat sajak pula, lalu….sekarang menjadi penyair top” (entah benar entah tidak). Hal itu tidak salah. Namun pekerjaan “seniman” jatuh menjadi pekerjaan tukang, atau karya seni anak-anak. Yang cendrung tidak punya dasar kekuatan intelektual, dan atau eksistensinya tidak perlu terkait dan dipertanggungjawabkan kepada lingkungan sosial-budayanya.

Jadi ada sebuah suasana pasar swalayan dalam kebudayaan moderen kita, yang tidak lagi mempunyai induk atau fokus yang disebut kebudayaan intelektual Indonesia, kebudayaan dan intelektual lokal. Praktik tukang atau anak-anak penulis lihat, karena orang menafikan (mengingkari) “intelektualitas” sebagai bagian dari kegiatan seni. Kesalahan ini sebenarnya sudah berantai, coba lihat, dalam kurikulum pendidikan kita, seni hanya bagian ketrampilan, bukan intelektual. Contoh yang lain adalah pagelaran “dangdut”, yang penulis anggap menafikan intelektualitas itu. Hauser dalam Sociologi of Arts (1981), memang tidak mengenal KISS, dia mengenal “seni massa “ atau “budaya massa” (mass culture) dan mengajukan premis tentang kematian seni moderen, dan pandangan ini mungkin kurang relevan lagi untuk masa sekarang.*

*)Penulis pernah menulis bahwa, tugas pemerintah bukan hanya untuk mengatur institusi seni dan budaya, tetapi memberi arahan yang benar. Museum misalnya, bukan museum antropologi, tetapi museum yang berisi kebudayaan dan hasil pikiran seniman atau kebudayaan yang sedang berlangsung hari ini. Pusat budaya misalnya, bukan untuk tempat seniman bertengkar, tetapi untuk tempat pembinaan apresiasi diantaranya untuk pembinaan profesi, asosiasi dan pengakuan atas eksistensi profesi seniman atau budayawan. Contoh lain misalnya pemisahan antara mana seni Timur (lokal) atau Barat (modren)

Dalam tulisan yang lalu, penulis mencoba mengillustrasikan beberapa tokoh seperti Berger (seniman) dan G. Sullivan (akademisi), dan beberapa contoh pratik riset untuk seni. Pentingnya informasi ini bukan untuk memerlihatkan bagaimana dunia seni itu seharusnya berlangsung dalam masyarakat. Tetapi bagaimana pembinaan dunia seni itu di mancanegara sebagai bagian dari pembinaan kebudayaannya dan pendidikan intelektual individu, yang kemudian mempengaruhi kebudayaan dunia. Bagaimana seni dan budaya itu di tumbuhkan oleh pemikiran individu, bukan oleh kelompok orang (institusi atau kekuasaan), yang justru lebih kepada membatasinya kalau bukan menghalangi. Seni dan budaya itu seharusnya adalah sesuatu yang hidup dan tumbuh, bukan hanya membanggakan apa yang telah terjadi di masa lampau sebagai sesuatu yang statis dan direkayasa.

Secara umum, yang penulis maksud dalam tulisan itu pada dasarnya, diarahkan untuk mengkritisi kebijakan dan tindakan (action) dalam seni dan budaya tanpa inovasi. Kalaupun inovasi beku atau terhambat. Maka ada jalan keluar lain, yaitu riset seni (penelitian) sebagai dasar kreasi. Kalau ini juga akan mengundang kritik karena dianggap berbau akademis. Riset yang dilakukan Berger, penulis anggap tidak berbau akademis. Tetapi sangat manusiawi, atas dorongan nalurinya sendiri terhadap lingkungan sosialnya. Contoh yang berbau akademis adalah kegiatan G. Sullivan.

Dalam desain, KISS hanya sebuah wacana, sebab bagaimana dia dilaksanakan tergantung metoda yang dipilih. KISS artinya menyederhanakan masalah yang rumit ( S= simple), efisiensi waktu dan biaya. KISS bukan tindakan bodoh (S= stupid), tetapi tindakan mengabaikan berbagai masalah lain yang relevan atau masa bodoh, arti kedua kata ini berbeda. Salah satu contoh adalah penerapan standarisasi, model atau tipe. Metoda ini dipakai demi efisiensi.

Contoh yang lebih tajam, ada dalam dunia desain. Aplikasinya sangat banyak. Mulai dari rumah standar, bangunan standar, terminal standar, pelabuhan standar dst. Model-model ini diterapkan tanpa riset desain eksternal yang mendalam, karena proyek disusun dengan cara berpikir linear, bukan lateral, sebab tujuan dan sasaran (goal) telah di tentukan, standar telah ditentukan (kalaupun ada disebut kajian akademis, penulis masih kurang yakin akan hal itu. Akibatnya banyak proyek yang mubazir, tidak cocok dengan lingkungan, dsb. Rekan penulis seprofesi guru, pernah berkata bahwa terminal kota yang berhasil desainnya hanyalah terminal Ragunan di Jakarta. Lainnya gagal, apalagi di kota Padang (terminal Bingkuang Padang yang sekarang hanya jadi sarang tikus). Model, tipe, standar adalah dalam rangka generalisasi, tetapi ada yang keliru, yang bisa jatuh ke “trial an error”

Peniruan (memepleks) adalah sistem penyebarannya. Sedangkan metoda terapan konsep perancang atau seniman, bisa macam-macam. Tergantung kebutuhan, diantaranya melalui model. Misalnya realisme dalam seni rupa adalah sebuah model. Dalam seni dan desain dikenal metoda trial and error (craft), metoda seniman (inspirasi, black box), metoda glass box (analisa-sintesa), metoda problem solving, dsb. (tentang ini penulis uraikan dalam BVTM, bab. II). Bahwa riset standarisasi memang cocok dan perlu dikembangkan untuk faktor internal produk, dan akan rawan untuk eksternal. Sebab fenomena benda/fisik dengan fenomena sosial budaya sangat berbeda. Sebagai contoh, siapa yang menjamin jika Standar Manajemen ISO di Jepang, sama dengan di Indonesia sedangkan manusianya, budayanya dan kinerjanya sangat berlainan (kecuali di atas kertas/ statistik) ?

Akibat sampingan dari KISS adalah krisis profesi. Karena melalui standarisasi, model, atau tipe, seseorang yang bukan ahlinya, misalnya seorang sarjana bidang (X) bisa menjadi pelaku penting di bidang (Y) karena kepangkatannya. Dia cukup mempelajari petunjuk pelaksanaan (juklak) dari model atau standar kinerja. Akibatnya, yang penting bagi seseorang adalah posisi, pangkat, bukan prestasi atau kompetensi sesuai dengan keahliannya. Contoh lain misalnya, model kurikulum standar, standar nilai dan seterusnya, lalu standar itu diterapkan tanpa melihat dulu keadaan dan situasi eksternal. Yang benar, mungkin adalah Penilaian Standar Sekolah itu sendiri (PSS). Oleh karena standar itu perlu, maka boleh saja terjadi standar ganda, hal ini dapat terjadi dimanapun di dunia.

Dunia ilmu itu teratur, tertib, terklasifikasi, ternyata berbeda dengan dunia aksi karena tujuan dan metoda untuk aplikasinya berbeda. Umumnya bidang keprofesian tertentu di Indonesia belum duduk dan untuk dilindungi oleh Undang-Undang. Pemerintah juga bingung, banyak sekolah di buat oleh masyarakat, tetapi profesi di masyarakat tidak jelas, tidak di atur. Jadinya beberapa pekerjaan untuk kepentingan masyarakat bisa jatuh ke praktik KISS )*

*) Sebagai contoh, penulis pernah terlibat di dalam proyek dinas ( X). Hal ini terjadi karena rekan penulis sebagai pemilik perusahaan mengetahui bahwa penulis ahli tentang bangunan tradisional. Tetapi dalam TOR (KAK) dinas (X) disebutkan syarat konsultan harus memiliki ahli budaya (bukan ahli seni rupa tradisional). Artinya ahli budaya itu bisa siapa saja seperti satrawan, seniman bebas. Sertifikasi tentang siapa ahli budaya itu belum ada sampai sekarang. Dinas (X) menganggap ahli budaya itu adalah lulusan antropologi (jika budaya itu adalah tari dan nyanyi, penulis yakin lulusan antropologi itu tidak pandai menari atau menyanyi). Jadi penulis anggap hanya mengarang-ngarang saja, karena tidak di jamin orang antropologi itu juga ahli budaya. Kita sering membanggakan memiliki kebudayaan yang tinggi dan besar, tetapi sosok pelaku budaya, profesinya tidak jelas. Boleh dikata yang disebut budayawan itu adalah hantu. Dia ada tetapi tidak ada. Pengetahuan dinas (X) tentang ahli seni rupa itu baru sebatas melukis atau menggambar. Mereka tidak mengetahui, kalau perluasan bidang ilmu seni rupa itu kepada budaya visual dan juga desain. Bidang-bidang yang terkait dengan seni rupa dan desain –yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak– umumnya belum mendapat perhatian dalam masyarakat kita. Apalagi untuk aplikasinya di lapangan. Ini salah satu contoh, bagaimana bidang kebudayaan kurang mendapat perhatian pemerintah, kecuali untuk menari dan menyanyi. Praktik KISS itu berlangsung secara tidak disadari dalam kehidupan kita. Penulis melihat banyak proyek dan pekerjaan di dalam masyarakat dikerjakan bukan oleh bidang pendidikannya. Setahu penulis baru ada delapan profesi yang dilindungi oleh UU. Yang mapan adalah profesi dokter dan advokat sebagai warisan jaman Belanda. Dokter dan advokat bisa memberikan tarif tertentu terhadap profesinya dan kerjanya dianggap profesional, lainnya baru dianggap sebagai pelayan masyarakat, termasuk guru dan seniman.

Meniru saja tidak bisa, lagi…

Sejarah mencatat bahwa bangsa peniru nomor satu di dunia adalah Jepang, kenapa ? Waktu Jepang hancur lebur oleh bom atom tahun 1942, yang ditanya kaisar Jepang kepada menterinya cuma satu, berapa sih profesor (artinya guru) yang masih hidup, coba hitung katanya. Kumpulkan dan beri fasilitas untuk mendidik bangsa Jepang yang masih tersisa ! Menurut cerita, sejak “restorasi Meiji” mereka telah mencoba menyalin dan menterjemahkan semua ilmu Barat ke tulisan dan bahasa Jepang, yang dibaca orang Barat-pun saat itu tidak bisa. Kemudian mereka memisahkan mana yang ilmu Barat dan mana yang ilmu Timur, keduanya sama-sama diperdalam dan dikembangkan dalam dunia pendidikannya (catatan: kalau kita justru dicampuradukkan, lihat saja di sekolah seni dan desain, mana ada pembagian jurusan seni Timur dan Barat, bentuknya menjadi tak karuan, Barat yang men-Timur atau sebaliknya, akhirnya juga tidak meng-Indonesia). Kurang dari 1 abad setelah Restorasi Meiji, semua bangsa di dunia terpesona kepada negara kecil itu yang mampu menguasai ilmu Barat (karena memepleks?). Jadi mereka (Barat) sebenarnya “tertipu”, kalau tidak dikalahkan. Setelah ketahuan, barulah buru-buru mereka keluarkan undang-undang hak cipta. Sekarang kita tidak bisa sembarang meniru, karena ada undang-undang yang mengaturnya. Coba saja sekarang, terjemahkan buku asing, anda mesti minta izin ke penerbitnya atau penulisnya di luar negeri.

Mengenai meme ini dan konteksnya dengan seni penulis kemukakan dalam DTS sbb.

MacKim (1991), menjelaskan bahwa dalam bidang apapun membuat ciplakan atau (copy) adalah tabu (dilarang). Seperti banyak kelas-kelas seni kontemporer mengkopi itu adalah sesuatu yang salah. Tetapi mengkopi dianggap kreatif jika dipakai sebagai alat seleksi visi. Sepanjang sejarahnya dapat dibuktikan bahwa seniman kreatif belajar sendiri melalui penciplakan (copying). Tetapi yang dicopy bukan karyanya, tetapi alat dan teknik untuk mengembangkan ide sendiri. Jadi timbul pertanyaan, bagaimana jika yang dicopy itu adalah konsep, prinsip, pikiran, atau teori orang lain ? (DTS, hal 11)

Sokongan untuk meme, penulis tulis dalam buku (DTS) sbb:

Ciri dari ilmu pengetahuan adalah pengembangan dan inovasi, bukan replikasi (peniruan), walaupun dalam pengembangan ilmu terdapat kecendrungan duplikasi dan memepleks. Namun, kenyataannya kita mereplikasi pikiran-pikiran orang lain melalui kutipan buku atau pikiran, lalu menuliskan dalam sebuah tulisan – di samping kita menjelaskan pikiran-pikiran kita sendiri – atau mengajarkannya pada orang lain. Dapat dikatakan bahwa pendidikan bidang apapun penuh dengan tindakan replikasi pengulangan atau peniruan dan atau meme. Hal ini dipahami karena proses belajar manusia bertahap dan berkesinambungan. Kita mesti mengulangi apa yang telah ditemukan orang lain untuk memahami apa yang ada pada masa kini atau mempelajari apa yang dipelajari generasi sebelumnya. Dan itu dilakukan sejak usia dini (DTS, 2008. hal .11)

Uraian selanjutnya penulis menjelaskan kesulitan mempelajari bidang seni dalam buku DTS sbb:

Ilmu seni memang ibarat sebuah belantara luas yang menyesatkan, yang siap menelan dan menerkam setiap orang yang memasukinya. Jika seseorang memasuki tampa rambu-rambu yang jelas, maka di jamin dia tidak bisa ke luar lagi dari rimba belantara itu. Melalui ilmu seni kita bisa tersesat ke ilmu pengetahuan tentang manusia (humanisme), seperti psikologi, psikologi persepsi, antropologi, estetika, atau tersesat ke ilmu aplikasi seperti semiotika, retorika visual, komunikasi visual, desain produk, teknologi dan seterusnya. (DTS. 2008. hal.12)

Dalam tulisan ini penulis coba merangkum sbb:

Penulis menyimpulkan, kesalahan kita bukan hanya dibidang pendidikan melulu, tetapi juga dalam sosial-budaya, yang kurang mendapat perhatian selama ini. Sebelumnya jika kita menunjukkan kekayaan budaya, selalu dari pamer tari dan nyanyi ke mancanegara. Mana ada pamer pikiran atau ilmu (intelektual) sebagai cara untuk menunjukkan kebudayaan yang tinggi, bahwa pendidikan dan manusia kita juga nomor satu. Sebelumnya mata tertuju hanya pada ekonomi, yang hanya memakmurkan pelaku ekonomi, bukan memakmurkan pelaku pendidikan untuk membina manusia, demi kemajuan bangsa.

Sampai tahun 2005-6 profesi guru, baru mendapat dukungan yang benar dari pemerintah. Pendidikan mungkin juga ada baiknya dipolitikkan, misalnya untuk menata lapisan sosial kelas menengah terdidik seperti yang dicontohkan India seabad yang lalu. Sertifikasi guru/dosen dan imimg-iming penggajian sekian kali lipat dapat dilihat sebagai menata strata sosial kelas menengah terdidik. Asal jangan salah sasaran, karena sertifikasi, terutama dicanangkan hanya berdasarkan kepangkatan, bukan kemampuan atau kompetensi (praktik KISS). Dimana orang yang “galia” ( bhs. Minang= cerdik) tidak produktif bergaji tinggi bisa goyang-goyang kaki, sedangkan yang pandai, produktif, bergaji kecil, banyak pekerjaan, tetap frustasi. Yang ada sekarang adalah sisa-sisa penyakit lama, kekacauan profesi, dan yang sampai konflik dalam interen profesi, mudah-mudahan itu bukan akibat praktik KISS, lagi

Wassalam. Padang, 21 Oktober. 2008

Nasbahry Couto adalah guru, orang Minang yang beristerikan orang Sunda (Cimahi Bandung). Sekarang tinggal di daerah terpencil di dusun Kurao Kapalo Banda, Gunung Sarik Padang. Yaitu sebuah daerah yang jauh dari pusat kota Padang, yang jalannya masih tanah dan berbatu-batu (tidak diaspal), sering di landa banjir dan nampaknya kurang mendapat perhatian pemda. Tinggal di daerah yang adat dan agama Islamnya yang masih kental, solidaritas sosialnya masih tinggi, di mana anak-anaknya (Minang-Sunda) dididik dalam nilai-nilai budaya kampung (Minang-Padang) yang agak berbeda dengan budaya urban.

About Komunitas Seni Belanak

Komunitas Seni Belanak

Satu tanggapan »

  1. lintasmarketing berkata:

    Artikel-artikel di blog ini bagus-bagus. Coba lebih dipopulerkan lagi di Lintasberita.com akan lebih berguna buat pembaca di seluruh tanah air. Dan kami juga telah memiliki plugin untuk WordPress dengan installasi mudah. Salam!

  2. syaiful berkata:

    salam kenal. baca dulu ya

  3. onci berkata:

    Mari kita bergabung sebagai alumni SMSR padang di http://senirupa.net/mod.php?mod=alumni dan http://komunitas.senirupa.net ada juga tempat sharing video http://senirupa.fliggo.com/

  4. gallery pintu berkata:

    sukses buat komunitas seni belanak….

  5. gambang semarang berkata:

    Hello there.. Nice blog 🙂 salam kenal ya, lagi blogie walking neh sambil woro-woro Ada Lumpia 1000 Di Lawang Sewu

  6. anonymous berkata:

    numpang nyimak dulu…

    salam kenal ya..

  7. Baju Wanita berkata:

    ikut baca-baca 🙂

  8. Rumah berkata:

    semangat terus Kawan untuk berkarya 🙂

Tinggalkan komentar